Ada sebuah kisah menarik yang terjadi pada seorang bocah bernama Putra di sebuah kampung di kabupaten Aceh jaya provinsi Aceh. Bocah berusia 13 tahun tersebut ternyata bisa mengapung di dalam kedalaman air laut. Benar-benar sebuah kemampuan yang tidak masuk akal.
Cerita bermula ketika Putra sedang menikmati sebuah pertandingan futsal di layar kaca antara dua SMA ternama dari ibu kota Jakarta di sebuah stasiun televisi swasta. Putra duduk tepat di depan televisi, bola matanya yang bulat berpadu dengan bulu mata lentiknya begitu serius di dalam menyaksikan pertandingan sepakbola mini tersebut.
"jauh ke depan. Serangan berbahaya bung, nyaris saja!!!" teriak komentator pertandingan futsal yang semakin seru dengan kedudukan skor kacamata alias masing belum ada satu biji gol yang terjadi. Pertandingan terus berlanjut suara komentator bercampur baur dengan suara penonton yang terus membakar semangat para pemain yang sedang bertarung di atas lapangan.
Suara kendaraan sesekali memecah keheningan kampung Putra yang terletak di dekat jalan lintas nasional Aceh - Medan tersebut. Putra tak bergeming dari duduknya. Dia semakin fokus menatap layar kaya sambil menghayal suatu hari nanti juga bisa menikmati indahnya bermain bola di atas lapangan bola mini yang diberi nama futsal.
Tiba-tiba bumi bergetar. "gruukk!!" kuat sekali, gempa bumi terjadi. Bumi terus bergetar seakan-akan hendak mengeluarkan segala isi yang ada di perutnya. Putra tidak bergerak dari posisi duduknya, rasa takut dan panik karena belum merasakan gempa sekuat ini membuat Putra sama sekali tidak dapat bergerak. Televisi mati dengan sendirinya karena listrik padam akibat beberapa tiang telah bertumbangan.
"Putra...Putra!!!!, keluar nak!" suara perempuan tua yang sudah tidak asing lagi terdengar nyaring dari arah luar sana. Dengan sigap Putra meninggalkan posisi duduknya dengan terburu-buru karena takut rumah ambruk menimpa dirinya.
Diluar, Putra bergabung bersama ibu dan kakak tercintanya. Mereka semua berkumpul di halaman rumah yang banyak ditumbuhi rumput indah dengan beberapa tanaman hiasnya.
"Berzikir nak!!" Ibu Putra yang berbadan tinggi itu memeluk erat Putra dan juga kakaknya. Bumi masih bergetar seakan-akan tidak mau berhenti juga. Rumah bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti para penari yang sedang beraksi di atas panggung hiburan.
"Allah Akbar, Ya Allah hentikan gempa ini, jauhkan kami dari bencana ini" Ibu terus berdo'a dengan wajahnya yang telah berubah warna menjadi pucat. Wajah ibu begitu kelihatan gelisah karena sang ayah sedang mencari nafkah di lautan yang jauh disana sebagai seorang nelayan.
Putra juga tidak kalah panik. Sifatnya yang selalu usil dan ceria mendadak berubah tak ada kata-kata yang keluar dari mulut berbibir tipis miliknya. Di dalam pikiran Putra ia ingin gempa segera berhenti agar dia bisa melanjutkan liburan di hari minggunya dengan bermain bola dan sepeda dengan rekan-rekannya di perkebunan kelapa yang begitu luas di kampungnya.
Kini harapan menjadi kenyataan setelah hampir sepuluh menit gempa mengguncang bumi, gempa akhirnya berhenti. Tak ada kerusakan berarti pada rumah milik Putra dan keluarganya, hanya sedikit retak di bagian sudutnya saja.
Suara orang-orang kembali terdengar. Mereka semua heboh menceritakan pengalaman pertama mereka merasakan gempa yang sangat kuat yang pernah terjadi di Indonesia. Ibu dan kakak Putra memutuskan kembali masuk ke rumah karena ingin melanjutkan aktifitas masaknya yang sempat tertunda akibat gempa yang melanda.
Putra tetap berdiam diri di halaman rumah sambil memasang telinga mendengar berita dari setiap orang yang lalu lalang disana. Diantara pembicaraan orang-orng tersebut terdengar jelas ada berita bahwa jembatan besi terbesar di kampungnya hampir saja putus akibat guncangan gempa.
Sebagai seorang anak yang memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi. Putra bergerak menuju dapur untuk meminta izin kepada ibunya agar dibolehin untuk melihat secara langsung jembatan besi yang katanya hampir putus tersebut.
"Mak! Putra pergi lihat jembatan boleh?" Putra memasang wajah memelas agar sang ibu memberi dia izin untuk pergi melihat jembatan yang letaknya hampir lima ratus meter dari rumahnya.
"Sarapan dulu. Pagi-pagi udah pergi main" Jawaban dari ibu benar-benar tidak membuat Putra puas. Putra tidak membantah, Putra justru melangkah mengambil piring dan nasi untuk menyantap sarapan sebagai sebuah tiket agar ibu memberi dia izin untuk pergi.
Jembatan Panga Aceh pada tahun 2004 sebelum tsunami menerjang |
"Sarapan dulu. Pagi-pagi udah pergi main" Jawaban dari ibu benar-benar tidak membuat Putra puas. Putra tidak membantah, Putra justru melangkah mengambil piring dan nasi untuk menyantap sarapan sebagai sebuah tiket agar ibu memberi dia izin untuk pergi.
Hanya butuh beberapa menit saja, Putra telah menghabiskan sarapannnya dengan lauk ala kadarnya karena memang ibu dan kakaknya belum sepenuhnya selesai memasak.
"Mak! Boleh ya ?" Putra kembali bertanya kepada ibunya agar memberi izin kepada dirinya untuk pergi melihat jembatan yang hampir putus.
"Hmm.. Ya boleh, tolong beliin Mak tepung terigu ya sebentar!" Ibu memberi izin kepada putra sambil menyerahkan uang sepuluh ribu untuk membeli tepung terigu di pasar.
Putra pergi dengan menggunakan sepeda ontel milik ayahnya yang tersandar rapi di dinding dapur yang terbuat dari papan berkualitas rendah. Tubuh mungil Putra sepertinya sudah begitu ahli di dalam menaklukkan sepeda yang dikhususkan untuk orang yang sudah dewasa tersebut.
Jalanan nasional yang beraspal rapi yang lurus kini telah berubah menjadi zig-zag. Putra sedang melewati markas Tni yang sengaja dipasangin drum minyak secara selang-seling agar setiap kendaraan yang melintas menjadi lamban lajunya.
Terlihat beberapa prajurit sedang melakukan olah raga pagi di dalam pagar Masjid yang berdekatan dengan markas mereka. Putra hanya tersenyum melihat prajurit yang sering mengajaknya bercanda. Putra terus melaju hingga ia benar-benar tiba di jembatan yang kata orang-orang hampir putus.
Di atas jembatan terdapat banyak sekali orang yang datang untuk menghilangkan rasa penasarannya. Tubuh mungil Putra tidak membuatnya mampu melihat bagian jembatan yang katanya hanya mengalami retak biasa saja.
Tetapi Putra tidak mau menyerah begitu saja, dia terus bergerak agar rasa penasarannya bisa sepenuhnya terobati. Entah kenapa Putra malah melihat ke arah sungai yang tedapat di bawah jembatan. Pemandangannya begitu berbeda, sungainya berombak bagaikan lautan saja.
Putra kaget dan bingung. Putra berputar badan dan mengambil sepeda berlari sambil berteriak air laut naik kepada setiap orang yang dilaluinya.
"eleh kau bilang apa?" seorang pedagang pisang yang sedang berdagang yang letaknya tidak jauh dari jembatan mengira Putra hanya ngaur berbicara tidak jelas.
Putra terus menggowes sepedanya kembali ke rumah. Putra tidak berlari menuju ke arah gunung yang lebih aman. Ikatan batinnya dengan ibunya begitu kuat membuat Putra lebih memilih pulang ke rumah. Putra berhasil sampai ke depan rumahnya dengan nafas terpotong-potong karena kelelahan.
Jembatan Panga Aceh Jaya setelah tsunami terjadi |
Suasana menjadi panik. Ibu dan kakaknya sudah berlarian keluar. Suara gemuruh ombak besar terus mendakati perkampungan warga. Putra mengikuti langkah ibunya dengan sepeda yang masih dia pegang di tangan kecilnya.
Putra tidak melempar sepedanya. Putra meletakkannya secara baik-baik di dekat pos ronda yang terletak di depan SMPN 1 Panga Aceh Jaya. Putra bersama ibu dan kakaknya yang memegang piring karena sedang memasak tadi hanya berdiri mematung di dekat pos ronda. Mereka menyaksikan rumah mereka yang penuh kenangan indahnya dilumat oleh air laut yang membuatnya hilang entah kemana.
Gedung SMPN 1 Panga Aceh rata dengan tanah setelah disapu oleh ombak tsunami |
"lari... jangan berdiri disitu!!!!" Teriakan dari para TNI yang terus berusaha menyelamatkan warga membuat mereka kembali melangkah kakinya.
Putra menatap mata ibunya sambil menarik-narik tangan keribut orang yang telah melahirkannya ke dunia tersebut, "Mak... ayah kita Mak" Putra berteriak teringat akan nasib ayahnya yang sedang mencari nafkah di laut sana. Ibu tidak menjawab apa-apa, pandangannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Mak. Rumah kita sudah tidak ada. Ambil ini Mak, karena cuma ini sekarang yang kita punya" Putra mendadak bertingkah bagai orang dewasa saja. Putra meyerahkan uang sepuluh ribu rupiah yang tadi ibu berikan kepadanya sebelum pergi melihat jembatan untuk membeli tepung terigu.
Ibunya mengambil uang tersebut dengan gerakan tangan yang tidak bersemangat. Uang itu ibu ikat tepat di ujung kain handuk warna hijau milik Putra yang ibu jadikan sebagai penutup rambut sebagai aurat seorang wanita. Bencana tsunami tersebut membuat ibu tidak sempat mamakai jilbabnya
Putra beserta kakak dan ibunya kembali terdiam di depan sekolah menengah pertama di Panga Aceh Jaya. Suara pecahan kaca rumah warga dan suara teriakan manusia menjadi satu.
"Lari... lari. jangan ada yang berdiri" Teriakan prajurit Tni kembali terdengar sambil sesekali menembak ombak besar yang semakin mendekat.
Mereka semua lari. air laut mulai menyentuh telapak kaki mereka. SMPN 1 Panga dan pos ronda yang terletak di depannya sekarang semua telah rata. Langkah Putra, ibu, kakaknya dan seluruh warga harus terhenti tidak ada lagi jalur untuk berlari. Sebuah rawa dan sungai telah menghadang di depan.
Rawa dan sungai ini membuat Putra dan ibunya berpisah |
Pilihan cuma satu, yaitu pasrah di hantam oleh ombak besar. Putra memegang erat tangan sang ibu dan juga kakaknya. Dalam hitungan detik ombak besar itu telah menghantam mereka. Putra sempat melihat ibunya yang berdiri disampingnya tidak hanya di terjang oleh ombak besar, tetapi juga sebuah balok besar yang terseret arus memukul keras di bagian belakang leher ibunya tercinta. Ibu roboh entah kemana. Pegangan erat mereka dengan penuh rasa cinta terlepas begitu saja atas kehendak Sang Maha Pencipta.
Badan Putra terlempar bagaikan kapas yang begitu ringan. Putra terbawa bersama gerakan air laut yang tidak mengenal teriakan minta ampun anak manusia. Putra mengapung di dalam kedalaman air laut dengan sebuah sendal masih menempel di kakinya.
Putra pasrah sambil memejamkan mata bersiap menerima ajal dari Allah. Putra melepaskan sendal kesayangan pembelian ibunya hasil dari jerih payah mencari nafkah untuk anak kesayangannya. Satu persatu sendal itu terpisah dari kaki putra layaknya ombak dan balok besar memisahkan Putra dan ibunya.
Putra benar-benar sudah siap untuk menikmati nafasnya yang terakhir. Tubuh Putra terombang-ambing dengan belaian kayu-kayu kecil yang terbawa air menyentuh kulit hitam tipisnya. Namun Allah berkata lain, Putra yang tidak bisa berenang terangkat ke permukaan air dengan beberapa papan di sampingnya untuk dijadikan tempat untuk menyelamatkan jiwanya.
Putra hanya seorang diri di tengah kepungan air di hutan yang tidak jelas alamatnya. Putra telah Allah selamatkan dengan cara yang tak pernah diduga. Putra menyantap makanan ringan yang terbawa air di depan matanya.
Satu bulan telah berlalu, Putra terduduk diam di depan tenda pengungsian sambil menunggu ibu, ayah dan kakaknya yang tak kunjung kembali jua. Mata bulat Putra begitu tajam setiap melihat relawan yang membawa jenazah dengan kantong warna kuningnya. Putra berharap ada jenazah keluarganya disana.
Hari demi hari penantian panjang putra tak kunjung datang juga. Ibu, ayah dan kakak tercintanya telah pergi selamanya tanpa meninggalkan sedikit jejak yang dapat dilihat jika rasa kangen melanda. Semoga Allah mengampuni segala dosa mereka dan surga menjadi tempat terbaiknya.
Sekarang Putra lagi terduduk dengan laptop di tangannya sambil menulis sepenggal kisah yang tidak patut diratapi dengan segala pahit manis di dalamnya. Sekian. Baca Juga : Fakta Tsunami Aceh
1 komentar
Las Vegas (NV) Casino - MapYRO
Find the best and newest slots at one 나주 출장마사지 of our recommended hotels in Las 제천 출장안마 Vegas. Las Vegas Hotel Casino, Hotel 군포 출장샵 & Spa Find 진주 출장샵 all the 포항 출장샵 information here.
EmoticonEmoticon